Tempat Wisata Horor di Tulungagung

Jika Anda sempat berkunjung ke Tulungagung, sebuah kabupaten di bagian barat propinsi Jawa Timur, sempatkanlah untuk mampir di desa Ngujang. Desa yang terletak persis di bantaran Sungai Brantas menawarkan wisata alternatif yang sayang untuk dilewatkan khusunya bagi pecinta fauna. Tepat di bantaran kali Brantas di pinggir jalan raya yang menghubungkan Tulungagung dan Kediri terdapat habitat monyet ekor panjang atau Macaca fascicularis. Bagi para penggemar kesenian topeng monyet pasti hapal dengan ciri dan karakteristik monyet ini. Dalam bahasa Jawa mereka akrab disebut munyuk. Terus apa istimewanya melihat monyet ini??

Pada masa peralihan Budaya Hindu-Budha yang bertransisi ke Budaya Islam, masyarakat sekitar menganggap monyet adalah makhluk yang paling disucikan dan dianggap jelmaan dewa. Para ulama pada waktu itu tentunya resah dengan budaya ibadah yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Karena Islam hanya mengenal Allah satu-satunya Dzat Yang Maha Agung untuk di sembah. Maka dari itu para ulama pada zaman itu menyebarkan isu yang berkembang di masyarakat pada zaman tersebut bahwa monyet ngujang adalah jelmaan dari santri yang dikutuk menjadi monyet, agar masyarakat menjadi takut dan menjauhi daerah tersebut hingga dianggap wingit. Sehingga daerah kuburan ngujang yang merupakan tempat habitat monyet-monyet dilindungi oleh masyarakat sekitar. Para ulama pun menyebarkan isu yang tidak jauh dari kata-kata Kyai dan Pesantren agar masyarakat berbondong-bondong ke pesantren untuk belajar agama islam lebih dalam dan menjauhi segala hal yang bersifat musyrik.

Beberapa waktu lalu saya menyempatkan diri untuk berkunjung ke kuburan ngujang, tentunya pada siang hari. Saya pernah mendengar isu yang mengatakan bahwa monyet-monyet tersebut pada hari tertentu menghilang dari peredaran. Hal ini saya tanyakan kepada orang yang saya temui yang mengaku warga yang berjualan di area pemakaman. Beliau mengatakan bahwa hal tersebut kebohongan umum yang masih dipercayai masyarakat awam. Saya benarkan disini bahwa beliau menyatakan ketika monyet-monyet tersebut tidak ada dari peredaran sebenarnya mereka mandi dipinggiran sungai berantas agak kearah barat. Jadi orang-orang yang melintas di area itu tentunya tidak akan bisa melihat dengan mata telanjang dari arah timur. Inilah kebiasaan manusia pada umumnya, hanya memandang dan menilai dari luarnya saja, tidak meninjau lebih jauh kedalam agar menemukan jawaban pasti.

"Di situ, orang-orang yang datang, biasanya meminta pesugihan," terang Wignyo, warga Desa Campur Darat, Tulungagung.

Lelaki paruh baya, yang juga dikenal sebagai salah satu tokoh spiritual di Tulungagung itu juga menceritakan, ada tata cara khusus untuk menjalani ritual pesugihan di Ngujang. Ada perjanjian-perjanjian khusus yang harus dipenuhi sang pemuja sebagai mahar (mas kawin).

"Termasuk dia (pemuja pesugihan) harus bersedia menjadi penghuni makam Ngujang dan berkumpul bersama kethek-kethek di sana ketika ajal menjemput. Saat masih hidup-pun, si pemuja juga wajib memberi tumbal kepada mahkluk ghaib yang menguasai makam Ngujang."

Sementara warga sekitar, meyakini kalau kethek-kethek yang menghuni makam Ngujang, adalah perwujudan si pemuja pesugihan yang sudah meninggal, termasuk wujud tumbal yang pernah dijadikan persembahan si pemuja semasa hidupnya. Singkat kata, monyet-monyet itu adalah mahkluk jadi-jadian alias jelmaan siluman.

Namun populasi monyet-monyet itu tidak bertambah maupun berkurang dari dulu. Dalam bahasa ilmiah, angka kelahiran monyet itu sama dengan angka kematiannya.

Sedangkan menurut Mohammad Toif, warga Sepanjang, Sidoarjo yang mengaku sempat singgah dan bercakap-cakap dengan juru kunci makam Ngujang menceritakan, sejarah Kethekan.

Sejarahe Kethekan, cerita Toif yang didapat dari juru kunci makam Desa Ngujang. Dahulu kala, ada sebuah Pondok Pesantren di Desa Ngantru yang berada tidak jauh dari Desa Ngujang. "Sampai sekarang pesantren itu masih ada," katanya.

Suatu hari, lanjut Toif, dua orang santri Ponpes tersebut, laki-laki dan perempuan, tengah bermain-main di sekitar dua komplek makam. "Dahulu tempat tersebut bukanlah makam, hanya tempat biasa yang rindang karena banyak pohon-pohon besar yang tumbuh," terang Toif menceritakan cerita sang juru kunci.

Sekarang pun pohon-pohon besar masih bisa dijumpai di areal pemakaman. "Dua santri itu sengaja membolos dari pengajian untuk bermain-main di tempat yang kini dijadikan tempat muja. Mereka bermain sambil memanjat pohon di tempat tersebut. Karena asyik bermain, kedua santri tersebut, lupa kalau ada pengajian rutin di pesantren tempat mereka belajar. Namun, tiba-tiba salah satu kiai mereka datang dan bertemu dengan dua santrinya yang asyik bermain tersebut," kata Toif melanjutkan ceritanya.

Kedua santri itu masih asyik memanjat pohon ketika kiai mereka datang. Sedangkan sang kiai yang melihat kedua santrinya tidak mengikuti pengajian, menegur dua bocah tersebut. Kata sang kiai: "Nduk, le, kalian kok tidak ikut ngaji? Lihat teman-teman kalian sedang mengaji di pondok. Kalian kok malah memanjat pohon di sini, seperti kethek saja."

Menurut orang-orang kuno, kata Toif menegaskan, khususnya orang-orang linuweh (sakti) seperti para kiai, kata-katanya ibarat kutukan. "Kedua santri itu, konon menjadi monyet yang hidup di sekitar makam Desa Ngujang. Monyet yang sering terlihat di sekitar makam Ngujang itu, adalah keturunan dari dua santri yang dikutuk menjadi monyet oleh kiai pondok tersebut. Sejak saat itu, desa itu disebut sebagai desa Ngujang yang berasal dari kata pawejangan, yang artinya tempat menuntut ilmu (pondok pesantren)."

Selanjutnya, dari zaman ke zaman, makam Ngujang atau Kethekan, dijadikan tempat mencari pesugihan. Barang siapa yang meminta juru kunci untuk membantu mencari pesugihan, dia (si pemuja) diberi seekor monyet yang dijadikan peliharaan untuk dapat mendatangkan rezeki.

"Sebelum dihadiahi seekor monyet, si pemuja diminta melakukan ritual terlebih dahulu. Dan setiap tahun pada tanggal 1 Suro, semua orang yang pernah mencari pesugihan di sana, dimintai sumbangan tertentu untuk mengadakan ritual semacam selamatan. Semua orang yang pernah mencari pesugihan di sana akan diundang dalam acara selamatan tersebut," pungkas Toif mengakhiri cerita yang pernah dia dapat secara kebetulan di Desa Ngujang.